Langit senja sudah mulai gelap pertanda malam telah mengusir siang, adzan magrib baru saja berlalu dan aku baru saja menyelesaikan sholat magrib berjamaah di rumah sempit milik pamanku. Aku baru saja tiba sore ini ditanah kelahiranku, sejak peristiwa yang meregut keluargaku ditahun 1998 aku putuskan untuk pergi merantau kekota dengan menjual semua warisan ayah. Tak banyak memang, hanya beberapa petak sawah dan rumah yang menjadi kenangan manis masa kanak-kanakku.
Kampung ini tak banyak berubah, masih seperti dulu. Jalan yang sering aku lalui dengan Hasnah sahabat masa kecilku dulu masih sama, tanah dengan lumpur hitam apabila musim penghujan. Cuti kerja tahun ini aku ingin
berziarah kemakam ayah dan ibu yang sudah tak aku sambangi sepuluh tahun lamanya. Semenjak meninggalnya mereka pada sebuah tragedi tenggelamnya kapal yang akan membawa mereka kepulau terdekat dikampungku.
Aku tak ingin menggantungkan hidup pada pamanku yang miskin, bagiku cukuplah sudah bebannya dengan sembilan anak yang ia tanggung, dan tak akan mungkin aku menggenapkannya menjadi sepuluh anak dalam asuhannya. Waktu itu paman tidak mengizinkan aku untuk pergi merantau kekota mengingat usiaku yang masih belia, apalagi aku adalah anak perempuan satu-satunya di garis keturunan pamanku.
Tapi, aku tetap bersikeras dan meyakinkan paman kalau aku tidak apa-apa, lagi pula dikota aku akan tinggal dengan bibi adik dari ibuku yang sudah tinggal disana selama delapan tahun, dan aku akan melanjutkan sekolah disana. Paman hanya bisa mendukung keputusanku, sejak hari itu setelah sepuluh tahun lamanya kini baru aku kembali. Dan aku tidak lagi gadis kecil paman yang manja, tidak lagi gadis bodoh yang setiap harinya dulu dihabiskan menangkap berudu di tengah sawah dengan Hasnah. Kami akan sangat gembira dengan anak-anak berudu malang itu, kami tangkap menggunakan saringan penyeduh teh milik ibuku, lalu kami masukkan anak-anak berudu itu kedalam botol. Dan sudah pasti berudu malang itu berenang meronta-ronta mencari tempat keluar, aku dengan Hasnah hanya tertawa bahagia membawa mereka pulang kerumah.
Kenangan masa kecil yang indah, waktu sepuluh tahun itu telah merubah diriku, merubah semua kebodohanku dulu. Kini aku telah sukses dikota, kalau dulu saat aku pergi dengan sebuah nama dan kini saat aku kembali dengan dua gelar dibelakang namaku, Sarjana dan Magister.
Lamunanku buyar, seseorang menyapaku yang sedang duduk dipelataran rumah paman.
"Ziya...!" sapanya dalam keremangan malam.
Aku tak mengenali wajah itu, penerangan yang kurang membuat aku berpikir siapakah perempuan kurus yang berdiri didepanku ini.
"Iya,,maaf siapa ya?" tanyaku pada sosok yang berdiri didepanku ini
"MasyaAllah...apa kabarmu Ziya?". Sosok itu langsung memelukku.
"Maaf ya, anda siapa?" Tanyaku masih kebingungan.
"Apa kau lupa aku? aku Hasnah"
Sontak saja aku kaget dan refleks memeluk Hasnah yang sepuluh tahun ini aku rindukan. Setelah berpelukan dan bertangisan dalam kerinduan, akupun bertanya padanya mengapa ia berubah seperti ini. Hasnah yang aku kenal dulu adalah seorang gadis yang cantik, tubuhnya berisi, rambutnya saban hari selalu wangi, dan aku dulu selalu cemburu dengannya karena disekolah ia memiliki banyak fans-fans gila yang menyanjung kecantikannya saban hari.
Lantas kenapa Hasnah yang berdiri didepanku sekarang sangat tidak mirip dengan Hasnahku yang dulu, kurus, dekil, rambutnya awut-awutan bahkan aku lihat matanya sembab seperti habis menangis.
Lalu ia pun bercerita, setahun setelah kepergianku ia dipaksa menikah oleh ayahnya. Waktu itu ia ingin melanjutkan sekolahnya, tapi ayahnya melarang. Padahal keluarga Hasnah termasuk keluarga yang kaya dan terpandang dikampungku, ayahnya berkata bahwa tak ada gunanya menyekolahkan anak perempuan tinggi-tinggi karena pada akhirnya mereka akan kembali ke dapur. Sebuah pikiran kuno di tengah kehidupan yang sudah serba modern ini, Hasnah tak mampu untuk menolak permintaan ayahnya.
Ia menikah, dan inilah awal mula neraka Hasnah, suami yang dipilih ayahnya dulu adalah seorang pecandu minuman alkohol, juga seorang penjudi. Kalau suaminya sedang mabuk berat ditambah kalah judi maka sudah dapat dipastikan Hasnah lah tempat luapan kemarahannya, ia akan memukul, menampar dan menendang istrinya tampa belas kasih. Melawan Hasnah tak kuasa, berulang kali ia ingin cerai dan berulang kali pula suaminya meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Tapi pada kenyataanya lelaki tersebut tidak pernah beruabah.
Di tahun kelima pernikahan mereka, Hasnah sudah merasa tak tahan dan ingin mengakhiri semuanya, ia menuntut cerai tapi lagi-lagi Tuhan belum memberinya restu untuk berpisah dengan lelaki tak bermoral tersebut. Hasnah mengandung anak pertama mereka, dan ini kemudian merubah niat dan sikap suaminya. Selama Hasnah mengandung, suaminya berubah sangat baik, tidak lagi berjudi dan minum-minum, Hasnah sedikit lega.
Tapi, setelah kelahiran putri kembar mereka, sikap sang suami kembali seperti semula dan bahkan lebih parah, kalau dulu ia berjudi dan mabuk, sekarang suka main perempuan. Bertambah sakitlah perasaan Hasnah.
Mendengar nasib Hasnah yang malang itu aku menangis, kami berpelukan cukup lama, lalu aku seka air matanya. Garis kecantikan sahabatku ini belum hilang, ia masih cantik seperti yang dulu, hanya saja kecantikan itu tertutup dengan penderitaan yang berkepanjangan yang juga telah merubah sorot matanya.
"Waktu kamu mau pergi kekota dulu, aku ingin menyusulmu". Hasnah bercerita lagi
"Lalu kenapa tak memberi tahuku?"
"Bahkan kau tak pernah memberiku kabar?". Aku bertanya dengan air mata
Hasnah hanya diam terpaku
"Sudah malam, aku harus pulang anakku pasti sudah bangun dari tidurnya".
Lalu tampa berkata lagi ia meninggalkan aku yang masih memiliki pertanyaan yang belum ia jawab.
Malam itu mataku tak hendak terpejam, rasa capek dari perjalanan jauh tak hendak membuatnya mengantuk. Pikiranku masih kepada Hasnah sahabatku yang malang, lalu kemudian aku terbayang kembali dengan masa kanak-kanak kami yang indah, serta sempat merasakan masa remaja beberapa tahun dengannya. Hasnahku dulu gadis yang periang, pintar dan yang paling cantik dikampung kami. Memang aku selalu iri dengan semua yang dimilikinya, tapi dia juga yang paling aku sayang. Aku akan menangis ke ibuku kalau aku tidak di bolehkan pergi bertandang dan main kerumah Hasnah. Pernah suatu malam aku terbangun dan minta dibawakan kerumah Hasnah, waktu itu aku demam dan tiga hari tak bertemu dengan Hasnah, hal ini mungkin dikarenakan aku anak tunggal dan Hasnah sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri.
Keesokan harinya, sepulang dari ziarah kemakam ayah dan ibu, aku berencana mampir kerumah Hasnah. Sebelum aku kerumah Hasnah terlebih dahulu aku pulang, akan kubawakan buah tangan untuk dia, karena tadi malam tak sempat memberinya.
"Mau kemana Zi?". tanya pamanku
"Mau kerumah Hasnah". Jawabku singkat
"Mau ngapain kerumah Hasnah?" Tanya pamanku lagi
"Aku mau menjenguk dia dan anaknya, dia bilang tadi malam kalau dia sudah punya anak kembar".
"Ahh...jangan ngaco kamu Zi!!!". Balas pamanku
"Siapa yang ngaco paman, Hasnah sendiri yang bilang tadi malam". jawabku
"Ketemu Hasnah dimana kamu Zi?".
"Didepan rumah, waktu aku lagi duduk-duduk tadi malam".
"Hasnah sudah meninggal dua minggu yang lalu Zi". jawab pamanku pendek.
"Ahh paman jangan bercanda". aku menimpali sambil tersenyum.
Karena tidak percaya, paman mengajakku kepemakaman, lalu ia menunjukkan sebuah batu nisan dengan kubur yang masih merah dengan bunga melati yang sudah layu.
Kontan saja aku kaget bak disambar petir disiang hari, tak mungkin. Tadi malam kami bertemu, bercerita dan berpelukan. Bahkan setelah pertemuan itu dalam hati aku berjanji akan membantunya lepas dari suaminya yang durjana itu.
Akan kubawa Hasnah kekota, dan akan kuberikan ia pekerjaan yang baik. Lalu mimpiku buyar seketika. Paman bercerita, bahwa Hasnah meninggal akibat disiksa suaminya. Pada malam naas itu setelah suaminya kalah judi dan dalam keadaan mabuk berat, ia menyiksa Hasnah seperti biasanya. Tapi malam itu, Hasnah melawan, entah setan apa yang merasuki lelaki itu hingga ia mengambil pisau di dapur dan menusuk istrinya hingga tewas. Kini suaminya sudah dipenjara, anak-anaknya yang masih berumur lima tahun itu diasuh oleh orang tua Hasnah.
Tapi, orang tua itu tak lagi sekaya dulu, bahkan sekarang untuk sesuap nasi saja mereka berat, ditambah lagi dengan beban dua cucu yang harus mereka asuh. Dengan hati dan keputusan yang mantap dua anak Hasnah itu diadopsi oleh Ziya, puti kembar Hasnah itu diasuh dan dibesarkan oleh Ziya dengan baik. Baginya jangan lagi nasib buruk yang menimpa sahabatnya terjadi pada anaknya.
Hingga hari ini Ziya tidak bisa melupakan pertemuan malam itu dengan Hasnah, air matanya, tubuh kurusnya, wajah yang dibalut kelaraan itu. Andai saja orang tua Hasnah dulu mengizinkan Hasnah menyusulnya kekota, pastilah ia jadi gadis yang sukses seperti Ziya, atau setidaknya ayahnya tidak menikahkan ia dengan lelaki durjana itu, tentulah hari ini ia bersama Hasnah menyaksikan pernikahan putrinya.
Pekanbaru, 26 Agustus 2019.
#SahabatKeluarga
#LiterasiKeluarga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar